/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan  img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan  img:hover {border: 1px solid #333}

MANDIRI DENTAL SUPLAY

SELAMAT DATANG DI BLOG JUAL BAHAN DAN ALAT2 KESEHATAN GIGI.
KAMI DATANG BAGI YG MENCARI ALTERNATIF PASANG GIGI DENGAN HARGA EKONOMIS !?
KAMI BERPENGALAMAN SUDAH LEBIH DARI 17 Th. JADI JGN RAGU !!
SEGERA HUB. KAMI...
HP. 082142831833 atau HP: 081332795857 / BBM: 512EC943C

HOME / OFFICE:"
" MANDIRI DENTAL SHOP "

JL. GOLF KK.23 SOOKO, MOJOKERTO,
SALAM...SUKSES !

BANK BRI, A/N. KHOIRUN
No Rek. 371501010925539

ATAU

BANK JATIM, A/n. Sholeh Suprayitno
No Rek. 0322775202

TERIMAKASIH

Selasa, 15 Januari 2013

PELUANG BAGUS BAGI TUKANG GIGI

MK: Tukang Gigi Harus Dibina, Bukan DihapuS !!

Ingin legal, tukang gigi harus mendapatkan izin dari pemerintah.

http://images.hukumonline.com/frontend/lt50f54c9ac0262/lt50f576e667cf7.jpg
MK kabulkan permohonan pengujian UU No. 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran. Foto: ilustrasi (Sgp)
Upaya Hamdani Prayoga memperjuangkan hak konstitusionalnya selaku tukang gigi membuahkan hasil. Hari ini (15/1), MK mengabulkan permohonan pengujian Pasal 73 ayat (2) dan pasal 78 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang diajukan Hamdani. MK menyatakan kedua pasal itu inkonstitusional bersyarat.
Menurut MK, Pasal 73 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik, kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari Pemerintah”.
Rumusan awal Pasal 73 ayat (2) berbunyi, Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik”.
Membandingkan dua rumusan itu, Putusan MK berarti menambahkan frasa “…..kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari Pemerintah”.Frasa yang sama juga disisipkan MK ke dalam Pasal 78.
Saat menguraikan isi putusan, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menyinggung keberadaan Permenkes No. 1871/MENKES/PER/IX/2011 yang menurut dalil pemohon, dijadikan dasar hukum penghapusan profesi tukang gigi. Menurut Hamdan, terbitnya Permenkes No. 1871 bukan penyelesaian yang tepat. Profesi tukang gigi, kata Hamdan, tidak semestinya dihapus karena profesi ini sudah lama ada di Indonesia.
“Keberadaan tukang gigi dapat menjadi alternatif bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan gigi yang terjangkau. Hal ini didasarkan pemikiran hingga saat ini pemerintah belum dapat menyediakan pelayanan gigi yang terjangkau bagi seluruh masyarakat,” papar Hamdan.
Kalaupun terjadi penyimpangan atau pelanggaran selama ini, kata Hamdan, itu terjadi karena terbatasnya kemampuan tukang gigi. Dia berpendapat, masalah ini seharusnya dapat diselesaikan melalui pembinaan, perizinan, dan pengawasan. Dalam rangka pembinaan, tukang gigi bisa saja diberi pengetahuan dasar ilmu kedokteran gigi, seperti yang pernah dilakukan pemerintah terhadap dukun beranak yang membantu kelahiran.
“Pengawasan tukang gigi ini agar pekerjaannya sesuai dengan standar yang ditetapkan pemerintah dan memberikan sanksi kepada tukang gigi yang melanggar atau menyalahgunakan pekerjaannya. Perizinan ini sebagai legalisasi tukang gigi sesuai kemampuan dan keahlian yang dimiliki tukang gigi,” kata Hamdan.  
Dalam putusan, MK menyatakan dokter gigi dan tukang gigi seharusnya saling bersinergi dan mendukung satu sama lain dalam upaya meningkatkan kesehatan gigi masyarakat. Seyogyanya, profesi tukang gigi dapat dimasukkan dalam satu jenis pelayanan kesehatan tradisional Indonesia yang harus dilindungi negara dalam suatu peraturan tersendiri.
“Berdasarkan penilaian hukum itu, Mahkamah berpendapat Pasal 73 ayat (2) UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, bertentangan dengan konstitusi jika larangan dalam pasal itu diberlakukan terhadap tukang gigi yang telah memiliki izin dari pemerintah,” tegas Hamdan.
Terkait Pasal 78, MK menyatakan pasal itu merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Pasal 73 ayat (2). “Pasal 78 UU Praktik Kedokteran harus dinyatakan konstitusional bersyarat, konstitusional sepanjang norma Pasal 78 tidak termasuk tukang gigi yang mendapat izin dari pemerintah.”
Usai sidang, kuasa hukum pemohon, Wirawan Adnan mengatakan sejak putusan MK ini, maka tukang gigi boleh berpraktik dengan syarat ada izin praktik disertai pengawasan dan pembinaan dari pemerintah. Menurut dia, selama ini tukang gigi tidak berizin lantaran Permenkes No. 1871 melarang tukang gigi untuk berpraktik. Namun, kata Wirawan, sejak adanya putusan MK ini, maka Permenkes No. 1871 tercabut dengan sendirinya. “Ini kewajiban Kemenkes untuk menerbitkan aturan syarat perizinan tukang gigi,” harapnya.

Tukang Gigi Uji UU Praktik Kedokteran
Majelis panel menyarankan pemohon agar pasal batu uji tidak perlu banyak, tetapi yang terpenting tepat. 

Dibaca: 1679 Tanggapan: 0
PDF  Print  E-mail
http://images.hukumonline.com/frontend/lt4fabaec6ce954/lt4fac8dc2653c4.jpg
MK akan uji Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Foto: Sgp
Pengurus Perkumpulan Asosiasi Tukang Gigi Mandiri (ASTAGIRI) dan H. Hamdani Prayogo (tukang gigi) memohon pengujian pasal 73 ayat (2) dan pasal 78 Undang-Undang No.  29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Mereka merasa dirugikan atas berlakunya kedua pasal yang mengatur larangan dan sanksi pidana bagi setiap orang melakukan praktik seolah-olah seperti dokter atau dokter gigi.
 
“Norma kedua pasal itu bersifat multitafsir, tidak jelas dan tegas, bisa diartikan sangat luas. Jika ada bidang pekerjaan yang bersentuhan atau kemiripan dengan pekerjaan dokter atau dokter gigi dianggap telah melakukan praktik kedokteran,” kata hukum pemohon, A Wirawan Adnan, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Ahmad Fadlil Sumadi di ruang sidang MK, Kamis (10/5).
 
Selengkapnya, pasal 73 ayat (2) menyatakan, ”Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain yang menimbulkan kesan seolah-olah bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan atau izin praktek.”   
 
Pasal 78 merumuskan, “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara-cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp150 juta rupiah.”
 
Adnan menilai frasa “setiap orang dilarang menggunakan alat, metode, atau cara lain” bisa diartikan sama/mirip dengan pekerjaan tukang gigi, tukang urut patah tulang, tukang pembuat kaki palsu, pekerja optik, penjual jamu, dukun beranak. Semuanya dilarang karena dianggap menggunakan alat atau metode yang dapat diartikan menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan dokter.
 
Sebagai tindak lanjut atas pasal tersebut, Menteri Kesehatan mengeluarkan Permenkes No. 1871/Menkes/Per/X/2011 tentang Pencabutan Permenkes No. 339/Menkes/Per/V/1989 yang membolehkan pekerjaan profesi tukang gigi. Pemohon menilai berlakunya pasal Undang-Undang tidak hanya mengancam tukang gigi yang mencapai 75 ribu orang, juga mengancam profesi lain yang sejenis.
 
“Pasal itu jelas-jelas melanggar hak konstitusional tukang gigi yang jumlah 75.000 orang sebagai tumpuan hidup keluarga seperti dijamin Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28I ayat (1) UUD 1945,” katanya.
 
Adnan mengatakan apabila hanya tukang gigi yang dilarang untuk melakukan pekerjaannya, sementara profesi yang sejenis tetap dapat menjalankan profesi, hal ini bersifat diskriminatif. Hal melanggar juga melanggar pasal 28I ayat (2) UUD 1945. “Jika pekerjaan tukang gigi ini lebih menekankan perhiasan atau bersifat assesoris seperti penggunaan gigi palsu atau behel (kawat gigi) dilarang, hal ini bentuk perampasan rejeki,” tambahnya.
 
Karena itu, pemohon meminta MK agar pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 UU Praktik Kedokteran ini dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Atau, pasal 73 ayat (2) dan 78 itu bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, kecuali sepanjang dimaknai alat, metode, atau cara lain tersebut bersifat tradisional, atau diakui secara turun-temurun, dan atau telah lazim diterima secara umum, bisa dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian tertentu selain dokter dan dokter gigi,” tuntutnya.
 
Anggota majelis panel hakim, Akil Mochtar mempertanyakan batu uji pasal yang dimohonkan, yakni Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28I UUD 1945. Pasal 28E ayat (3) mengatur tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul, sedangkan Pasal 28I ayat (1) hak hidup.
 
“Pasal batu uji itu tidak terkait dengan hak pekerjaan tukang gigi. Pasal batu uji itu tidak perlu banyak-banyak, yang penting tepat. Menurut saya yang paling fundamental pasal hak bekerja dan memperoleh penghasilan,” saran Akil. “Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 soal diskrimasi juga apa cocok? karena diskriminasi tidak berkaitan dengan materi permohonan Saudara.”
 
Hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menyarankan pemohon agar lebih fokus pada hak profesi tukang gigi saja dalam permohonannya. ”Jangan melebar ke tukang pijat dan profesi lainnya. Anda fokus pada tukang gigi saja,” sarannya.
 
Majelis panel memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonan.


Tukang Gigi Gugat UU MKPemohon meminta MK membatalkan Pasal 55 UU MK itu karena bertentangan dengan UUD 1945. 

Dibaca: 1165

http://images.hukumonline.com/frontend/lt504205704e2a0/lt504496adf31a4.jpg
Tukang gigi gugat UU MK. Foto: Sgp
Dua orang tukang gigi, Mahendra Budianta dan Arifin yang mengatasnamakan Perkumpulan Tukang Gigi (PTGI) Jawa Timur mengajukan permohonan uji materi Pasal 55 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011. Mereka mengajukan permohonan karena pasal itu dinilai telah melanggar hak konstitusional mereka. Sebab, berdasarkan pasal itu, permohonan uji materi di Mahkamah Agung (MA) harus dihentikan jika UU yang menjadi dasar pengujian tengah diuji di MK.
"Pasal 55 UU MK mengatur apabila ada uji materi peraturan di bawah UU yang sedang diuji di MA, sementara UU yang menjadi dasar pengujian sedang diuji di MK, gugatan uji materi  yang di MA itu wajib dihentikan. Ini yang kami persoalkan karena tidak semua pasal dalam peraturan di bawah UU itu rujukannya sama dengan yang diuji di MK," ujar kuasa hukum pemohon, Mohammad Sholeh, usai sidang di Gedung MK Jakarta, Jumat (31/8).
Selengkapnya, Pasal 55 menyebutkan “Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.”
Sholeh mengatakan pemohon dapat memahami dasar filosofi Pasal 55 UU MK agar tidak terjadi tumpang tindih antara putusan MK dan putusan MA. Ia menilai pasal tidak jelas dan menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak pernah menjelaskan sejak kapan pengujian peraturan di bawah UU harus dihentikan oleh MA. “Apakah sejak didaftarkan di MA atau sejak adanya pengujian UU di MK yang menjadi dasar uji materi di MA?”
Menurutnya, Pasal 55 MK jelas telah mengebiri kewenangan MA, memasung kewenangan MA dan menjadikan MA tidak independen dalam menguji peraturan di bawah UU, seharusnya pembuat UU sadar dan memahami kewenangan antara MA dan MK berbeda dan tidak boleh tumpang tindih. “Pasal 55 rentan dimanfaatkan oleh pemerintah yang mengeluarkan peraturan di bawah undang-undang atau siapapun yang berkepentingan terhadap peraturan dibawah UU,” katanya.
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK membatalkan Pasal 55 UU MK itu karena bertentangan dengan UUD 1945. “Menyatakan Pasal 55 UU MK bertentangan dengan Pasal Pasal 24 A ayat (1), 27 ayat (1), dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat atau meminta tafsir MK agar dimaknai Pasal 55 UU MK ini harus dimaknai sebagai pasal, bukan UU yang diuji di MK dan MA itu adalah sama,” pintanya.
Sebagaimana diketahui, pengujian UU ini dimohonkan lantaran adanya Peraturan Menteri Kesehatan yang melarang tukang gigi menjalankan praktik. Mereka lantas menguji peraturan tersebut ke MA dengan mendasarkan pada Pasal 59 UU Kesehatan terkait pelayanan kesehatan tradisional. Namun, permohonan ini tidak segera disidangkan MA.
Di tengah gugatan yang terhenti di MA itu, pemohon juga mengajukan permohonan uji materi Pasal 170 UU Kesehatan yang mengatur tentang pembiayaan kesehatan ke MK. Dengan adanya permohonan ini, gugatan pemohon di MA terancam batal karena berlakunya Pasal 55 UU MK itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar