MK: Tukang Gigi Harus Dibina, Bukan DihapuS !!
Ingin legal, tukang gigi harus mendapatkan izin dari pemerintah.
MK kabulkan permohonan pengujian UU No. 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran. Foto: ilustrasi (Sgp)
Upaya Hamdani Prayoga memperjuangkan hak konstitusionalnya selaku
tukang gigi membuahkan hasil. Hari ini (15/1), MK mengabulkan permohonan
pengujian Pasal 73 ayat (2) dan pasal 78 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang diajukan Hamdani. MK menyatakan kedua pasal itu inkonstitusional bersyarat.
Menurut MK, Pasal 73 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Setiap
orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat
tanda registrasi dan/atau surat izin praktik, kecuali tukang gigi yang
mendapat izin praktik dari Pemerintah”.
Rumusan awal Pasal 73 ayat (2) berbunyi, “Setiap orang
dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat
tanda registrasi dan/atau surat izin praktik”.
Membandingkan dua rumusan itu, Putusan MK berarti menambahkan frasa “…..kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari Pemerintah”.Frasa yang sama juga disisipkan MK ke dalam Pasal 78.
Saat menguraikan isi putusan, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva
menyinggung keberadaan Permenkes No. 1871/MENKES/PER/IX/2011 yang
menurut dalil pemohon, dijadikan dasar hukum penghapusan profesi tukang
gigi. Menurut Hamdan, terbitnya Permenkes No. 1871 bukan penyelesaian
yang tepat. Profesi tukang gigi, kata Hamdan, tidak semestinya dihapus
karena profesi ini sudah lama ada di Indonesia.
“Keberadaan tukang gigi dapat menjadi alternatif bagi masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan gigi yang terjangkau. Hal ini didasarkan
pemikiran hingga saat ini pemerintah belum dapat menyediakan pelayanan
gigi yang terjangkau bagi seluruh masyarakat,” papar Hamdan.
Kalaupun terjadi penyimpangan atau pelanggaran selama ini, kata Hamdan,
itu terjadi karena terbatasnya kemampuan tukang gigi. Dia berpendapat,
masalah ini seharusnya dapat diselesaikan melalui pembinaan, perizinan,
dan pengawasan. Dalam rangka pembinaan, tukang gigi bisa saja diberi
pengetahuan dasar ilmu kedokteran gigi, seperti yang pernah dilakukan
pemerintah terhadap dukun beranak yang membantu kelahiran.
“Pengawasan tukang gigi ini agar pekerjaannya sesuai dengan standar
yang ditetapkan pemerintah dan memberikan sanksi kepada tukang gigi yang
melanggar atau menyalahgunakan pekerjaannya. Perizinan ini sebagai
legalisasi tukang gigi sesuai kemampuan dan keahlian yang dimiliki
tukang gigi,” kata Hamdan.
Dalam putusan, MK menyatakan dokter gigi dan tukang gigi seharusnya
saling bersinergi dan mendukung satu sama lain dalam upaya meningkatkan
kesehatan gigi masyarakat. Seyogyanya, profesi tukang gigi dapat
dimasukkan dalam satu jenis pelayanan kesehatan tradisional Indonesia
yang harus dilindungi negara dalam suatu peraturan tersendiri.
“Berdasarkan penilaian hukum itu, Mahkamah berpendapat Pasal 73 ayat
(2) UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat,
bertentangan dengan konstitusi jika larangan dalam pasal itu
diberlakukan terhadap tukang gigi yang telah memiliki izin dari
pemerintah,” tegas Hamdan.
Terkait Pasal 78, MK menyatakan pasal itu merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan dari Pasal 73 ayat (2). “Pasal 78 UU Praktik
Kedokteran harus dinyatakan konstitusional bersyarat, konstitusional
sepanjang norma Pasal 78 tidak termasuk tukang gigi yang mendapat izin
dari pemerintah.”
Usai sidang, kuasa hukum pemohon, Wirawan Adnan mengatakan sejak
putusan MK ini, maka tukang gigi boleh berpraktik dengan syarat ada izin
praktik disertai pengawasan dan pembinaan dari pemerintah. Menurut dia,
selama ini tukang gigi tidak berizin lantaran Permenkes No. 1871
melarang tukang gigi untuk berpraktik. Namun, kata Wirawan, sejak adanya
putusan MK ini, maka Permenkes No. 1871 tercabut dengan sendirinya.
“Ini kewajiban Kemenkes untuk menerbitkan aturan syarat perizinan tukang
gigi,” harapnya.
Tukang Gigi Uji UU Praktik Kedokteran
Majelis panel menyarankan pemohon agar pasal batu uji tidak perlu banyak, tetapi yang terpenting tepat.
Dibaca: 1679
Tanggapan: 0
MK akan uji Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Foto: Sgp
Pengurus Perkumpulan Asosiasi Tukang Gigi Mandiri (ASTAGIRI) dan H.
Hamdani Prayogo (tukang gigi) memohon pengujian pasal 73 ayat (2) dan
pasal 78 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran. Mereka merasa dirugikan atas berlakunya
kedua pasal yang mengatur larangan dan sanksi pidana bagi setiap orang
melakukan praktik seolah-olah seperti dokter atau dokter gigi.
“Norma kedua pasal itu bersifat multitafsir, tidak jelas dan tegas,
bisa diartikan sangat luas. Jika ada bidang pekerjaan yang bersentuhan
atau kemiripan dengan pekerjaan dokter atau dokter gigi dianggap telah
melakukan praktik kedokteran,” kata hukum pemohon, A Wirawan Adnan,
dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Ahmad Fadlil Sumadi
di ruang sidang MK, Kamis (10/5).
Selengkapnya, pasal 73 ayat (2) menyatakan, ”Setiap orang dilarang
menggunakan alat, metode atau cara lain yang menimbulkan kesan
seolah-olah bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah
memiliki surat tanda registrasi dan atau izin praktek.”
Pasal 78 merumuskan, “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan
alat, metode atau cara-cara lain dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah
dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi
dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp150 juta
rupiah.”
Adnan menilai frasa “setiap orang dilarang menggunakan alat, metode, atau cara lain”
bisa diartikan sama/mirip dengan pekerjaan tukang gigi, tukang urut
patah tulang, tukang pembuat kaki palsu, pekerja optik, penjual jamu,
dukun beranak. Semuanya dilarang karena dianggap menggunakan alat atau
metode yang dapat diartikan menimbulkan kesan seolah-olah yang
bersangkutan dokter.
Sebagai tindak lanjut atas pasal tersebut, Menteri Kesehatan
mengeluarkan Permenkes No. 1871/Menkes/Per/X/2011 tentang Pencabutan
Permenkes No. 339/Menkes/Per/V/1989 yang membolehkan pekerjaan profesi
tukang gigi. Pemohon menilai berlakunya pasal Undang-Undang tidak hanya
mengancam tukang gigi yang mencapai 75 ribu orang, juga mengancam
profesi lain yang sejenis.
“Pasal itu jelas-jelas melanggar hak konstitusional tukang gigi yang
jumlah 75.000 orang sebagai tumpuan hidup keluarga seperti dijamin Pasal
28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28I ayat
(1) UUD 1945,” katanya.
Adnan mengatakan apabila hanya tukang gigi yang dilarang untuk
melakukan pekerjaannya, sementara profesi yang sejenis tetap dapat
menjalankan profesi, hal ini bersifat diskriminatif. Hal melanggar juga
melanggar pasal 28I ayat (2) UUD 1945. “Jika pekerjaan tukang gigi ini
lebih menekankan perhiasan atau bersifat assesoris seperti penggunaan
gigi palsu atau behel (kawat gigi) dilarang, hal ini bentuk perampasan
rejeki,” tambahnya.
Karena itu, pemohon meminta MK agar pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 UU
Praktik Kedokteran ini dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Atau, pasal 73 ayat (2) dan 78 itu
bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, kecuali sepanjang
dimaknai alat, metode, atau cara lain tersebut bersifat tradisional,
atau diakui secara turun-temurun, dan atau telah lazim diterima secara
umum, bisa dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian tertentu selain
dokter dan dokter gigi,” tuntutnya.
Anggota majelis panel hakim, Akil Mochtar mempertanyakan batu uji pasal
yang dimohonkan, yakni Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28I UUD 1945. Pasal
28E ayat (3) mengatur tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
sedangkan Pasal 28I ayat (1) hak hidup.
“Pasal batu uji itu tidak terkait dengan hak pekerjaan tukang gigi.
Pasal batu uji itu tidak perlu banyak-banyak, yang penting tepat.
Menurut saya yang paling fundamental pasal hak bekerja dan memperoleh
penghasilan,” saran Akil. “Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 soal diskrimasi
juga apa cocok? karena diskriminasi tidak berkaitan dengan materi
permohonan Saudara.”
Hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menyarankan pemohon agar lebih
fokus pada hak profesi tukang gigi saja dalam permohonannya. ”Jangan
melebar ke tukang pijat dan profesi lainnya. Anda fokus pada tukang gigi
saja,” sarannya.
Majelis panel memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonan.
Tukang Gigi Gugat UU MKPemohon meminta MK membatalkan Pasal 55 UU MK itu karena bertentangan dengan UUD 1945.
Dibaca: 1165
Tukang gigi gugat UU MK. Foto: Sgp
Dua orang tukang gigi, Mahendra Budianta dan Arifin yang
mengatasnamakan Perkumpulan Tukang Gigi (PTGI) Jawa Timur mengajukan
permohonan uji materi Pasal 55 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (MK) sebagaimana diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011. Mereka
mengajukan permohonan karena pasal itu dinilai telah melanggar hak
konstitusional mereka. Sebab, berdasarkan pasal itu, permohonan uji
materi di Mahkamah Agung (MA) harus dihentikan jika UU yang menjadi
dasar pengujian tengah diuji di MK.
"Pasal 55 UU MK mengatur apabila ada uji materi peraturan di bawah UU
yang sedang diuji di MA, sementara UU yang menjadi dasar pengujian
sedang diuji di MK, gugatan uji materi yang di MA itu wajib dihentikan.
Ini yang kami persoalkan karena tidak semua pasal dalam peraturan di
bawah UU itu rujukannya sama dengan yang diuji di MK," ujar kuasa hukum
pemohon, Mohammad Sholeh, usai sidang di Gedung MK Jakarta, Jumat
(31/8).
Selengkapnya, Pasal 55 menyebutkan “Pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah
Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar
pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah
Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.”
Sholeh mengatakan pemohon dapat memahami dasar filosofi Pasal 55 UU MK
agar tidak terjadi tumpang tindih antara putusan MK dan putusan MA. Ia
menilai pasal tidak jelas dan menimbulkan ketidakpastian hukum karena
tidak pernah menjelaskan sejak kapan pengujian peraturan di bawah UU
harus dihentikan oleh MA. “Apakah sejak didaftarkan di MA atau sejak
adanya pengujian UU di MK yang menjadi dasar uji materi di MA?”
Menurutnya, Pasal 55 MK jelas telah mengebiri kewenangan MA, memasung
kewenangan MA dan menjadikan MA tidak independen dalam menguji peraturan
di bawah UU, seharusnya pembuat UU sadar dan memahami kewenangan antara
MA dan MK berbeda dan tidak boleh tumpang tindih. “Pasal 55 rentan
dimanfaatkan oleh pemerintah yang mengeluarkan peraturan di bawah
undang-undang atau siapapun yang berkepentingan terhadap peraturan
dibawah UU,” katanya.
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK membatalkan Pasal 55 UU MK itu
karena bertentangan dengan UUD 1945. “Menyatakan Pasal 55 UU MK
bertentangan dengan Pasal Pasal 24 A ayat (1), 27 ayat (1), dan Pasal 28
D ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat atau meminta
tafsir MK agar dimaknai Pasal 55 UU MK ini harus dimaknai sebagai pasal,
bukan UU yang diuji di MK dan MA itu adalah sama,” pintanya.
Sebagaimana diketahui, pengujian UU ini dimohonkan lantaran adanya
Peraturan Menteri Kesehatan yang melarang tukang gigi menjalankan
praktik. Mereka lantas menguji peraturan tersebut ke MA dengan
mendasarkan pada Pasal 59 UU Kesehatan terkait pelayanan kesehatan
tradisional. Namun, permohonan ini tidak segera disidangkan MA.
Di tengah gugatan yang terhenti di MA itu, pemohon juga mengajukan
permohonan uji materi Pasal 170 UU Kesehatan yang mengatur tentang
pembiayaan kesehatan ke MK. Dengan adanya permohonan ini, gugatan
pemohon di MA terancam batal karena berlakunya Pasal 55 UU MK itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar